Mari Berbagi Bacaan !!


Robby Djohan Si Tukang Catut yg Luar Biasa

\
Robby Djohan, dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, mantan bankir, mantan chief executive officer (CEO) pada beragam perusahaan raksasa, berhasil mengukir berbagai prestasi. Ia merintis karier di Citibank, kemudian membesarkan Bank Niaga, menyelamatkan perusahaan penerbangan Garuda Indonesia, dan mengantarkan mahamerger beberapa bank BUMN menjadi Bank Mandiri. Penerima penghargaan The Best CEO 2000 dan CEO Terbaik di Masa Krisis, yang diadakan Majalah Swa dan Asian Market Intelegence (AMI), ini hari Kamis (12/6) malam, meluncurkan bukunya bertajuk The Art of Turn Around, Kiat Restrukturisasi.

Buku setebal 334 halaman dari Penerbit Aksara Karunia tersebut merupakan perpaduan antara biografi dan sejumlah kiat bisnis, dipetik dari segala macam pengalaman yang telah puluhan tahun digelutinya. Mulai dari perjalanannya sejak berjualan kue basah di zaman Jepang saat duduk di sekolah dasar, menjadi tukang catut ketika di SMA dan mahasiswa, lalu merintis karier di Citibank sampai 1976, membesarkan Bank Niaga, menjabat Dirut Garuda Indonesia, memimpin Bank Mandiri sampai 23/5/2000, dan pengalaman mengelola sejumlah bisnis pribadi.

Pria yang mengaku memiliki karakter cenderung bebas dengan tendensi urakan, slebor atau cuek ini dilahirkan tanggal 1 Agustus 1938 di Semarang. Ia dikaruniai tiga putri cantik (Indira Purwita, Sandra Praditya, Irma Damayanti) buah kasih dengan isteri Nanan Hadiretna. Anggota World Economi Forum berbintang saya Leo dengan shio Macan ini berasal dari keluarga berlatar belakang aneka macam. Ibunya keturunan Indo-Belanda beragama Katolik. Ayah orang Pontianak masih keturunan Arab dari pihak nenek, beragama Islam dan pernah bekerja di duane di Semarang, Medan, kemudian Singapura.

Kakak beradik dalam keluarganya, tiga orang beragama Katolik, dua Islam. Ia sendiri beragama Islam. Maka, sudah sejak kecil ia selalu merayakan Lebaran sekaligus Natal. Jika semua keluarga berkumpul, terasa keakraban oleh karena ia sering jauh dari mereka. Namun walau jauh, komunikasi di antara mereka tetap berlangsung intens.

Dalam lingkungan bisnis, ia termasuk sosok andalan. Ketika di Bank Niaga, ia mengangkat bank yang tadinya tidak terkenal itu menjadi bank swasta nomor dua terbesar di Indonesia. Pengalaman sangat spektakulernya adalah ketika selama enam bulan ia dipercaya memimpin Garuda. Saat itu ia langsung dihadapkan pada situasi yang disebutnya sebagai, "… negative networth gila-gilaan, sebab utang (liabilities) jauh lebih besar dibanding harta (asset), sehingga saldonya negatif. Bottom line sudah merah, begitu juga saldo ditahan (retained earning) juga telah negatif. “Pada posisi demikian, praktis tinggal dua hal yang akan bisa dilakukan yakni menambah modal atau melikuidasi,” katanya.

Namun, sebagai bankir, membaca posisi keuangan sangat buruk semacam itu tetap bukan berarti datangnya kiamat. "Kalau kita reevaluasi aset sesuai market, maka negative networth akan menjadi kecil. Yang penting, dia bukan bebas cash (noncash-charge), dan negative networth akibat akumulasi kerugian bisa diatasi. Yang perlu dijaga, Garuda tidak boleh rugi, cash flow harus positif. Selain itu, juga harus dijaga posisi serasi antara aset dalam rupiah serta liability dalam dollar AS," tegasnya.

Kalau hanya berpikir seperti ketika sedang mengelola perusahaan biasa, ia pasti akan melakukan likuidasi. Tetapi, akhirnya ia memilih peluang restrukturisasi mengingat Garuda adalah pembawa bendera Indonesia sehingga terdapat ikatan emosional pada masyarakat luas serta kebanggaan yang sulit dihapuskan.

Restrukturisasi berarti membuang yang jelek dengan melakukan perubahan mendasar berupa perubahan manajemen, kepemimpinan, operasional dan pendekatan pasar. Tujuannya satu, agar nilai pasar Garuda bisa meningkat.

Sesudah berhasil mengatasi tantangan dari dalam, ia segera melakukan program restrukturisasi. Sesudah dua bulan memimpin Garuda (termasuk memindahkan kantor ke Bandara Soekarno-Hatta agar bisa langsung memantau situasi lapangan), ia pun berhasil memutar haluan Garuda dari nyaris bangkrut menjadi maskapai penerbangan yang tetap terbang, sekaligus bisa menguntungkan.

Namanya makin berkibar ketika ia berhasil menyelamatkan Garuda. Saat itu ia juga berani menghadapi demonstrasi karyawan yang menyambutnya sewaktu baru masuk ke Garuda. Dengan tenang ia datang menghadapi serta memberi penjelasan secara rinci dan terbuka atas semua kebijakan yang sedang, telah, dan akan dia ambil.

Menurutnya, seseorang bisa naik menjadi pemimpin puncak tentu sesudah ia lolos dalam berbagai macam seleksi sejak merangkak dari bawah. Dengan demikian, ketika sudah berada di atas, ia harus berani bertindak dengan memanfaatkan kekuasaan yang otomatis akan datang melekat pada diri seorang pemimpin. "Banyak pemimpin, di perusahaan atau pemerintahan, bertindak sebagai manajer, senang terlibat dalam proses. Tetapi, yang kita butuhkan sekarang justru pemimpin, leader dan leadership, orang yang bisa melihat perubahan sebagai potensi, memberi gagasan, inspirasi dan arah, serta punya kepemimpinan tegas," katanya.

Ia pun mengungkapkan khotbah seorang ustadz, ketika suatu Jumat tanpa sengaja ia shalat di sebuah masjid kecil di tengah kampung di sudut Metropolitan Jakarta. Ustadz yang terlihat sebagai orang kebanyakan, sama sekali bukan sosok terkenal dengan amat prihatin dan pandangan terasa jernih sekali, berkata, "…negara kita kacau-balau karena tidak pernah ditangani serius."

“Kita tidak pernah serius ketika mengerjakan sesuatu, maka jadinya… ya selalu seperti yang kita lihat dan alami," ujar pria yang dikenal berjiawa terbuka, terus terang, tangkas bertindak, dan berani mengemukakan segala sesuatu dengan kalimat jelas.

sumbernya : klik disini

Pengikut

Facebook Twitter RSS