Mari Berbagi Bacaan !!


Menjaga AIB


Assalamu’alaikum wrwb,..

Hatim sedang mememperhatikan dan menunggui barang dagangannya, ketika soranga gadis cantik mengunjungi tokonya. Si gadis hendak membeli beberapa kebutuhan di toko Hatim. Belum sempat tawar menawar terjadi, tiba-tbia saja gadis itu  -mohon maaf- mengeluarkan suara kentut yang besar. Kontan saja wajahnya langsung memerah, ia khawatir orang di depannya itu (Hatim) mendengar suara kentutnya, meski yang dimaksud tidak menunjukkan ekspresi apapun, betapa malu ia waktu itu; bagaimana jika penjaga toko mendengar suara kentutnya, pikir si gadis. Tetapi, meski rasa malu tersebut belum sempat habis, ia memberanikan diri untuk bersuara.
               “Berapa harga yang ini Pak?” tanya di gadis.
Hatim tidak angsung menjawab melainkan ia berjalan mendekat dan bertanya “apa?  kenapa?”, seolah tak mendengar apa yang diucapkan si gadis. Melihat gelagat Hatim yang demikian, gadis itu kini merasa lega suara kentutnya tadi tidak terdengar oleh penjaga toko yang ternyata tuli. Dan dia pun mengulang lagi, dengan suara agak lebih keras, ucapannya yang tadi, “ini lho Pak harganya berapa?
                Oh, harga itu tho,..” sergah Hatim dengan mimik lugu.
Dan transaksi jual beli pun berlangsung cukup lancar. Si gadis, setelah menyelesaikan belanjaannnya, pergi dengan raut muka berseri sebagaiman ketika ia datang. Wajahnya tak lagi memerah.
Sebetulnya Hatim bukan tak mendengar suara kentut si gadis. Tepat saat yang sama ketika si gadis mengeluarkan suara “memalukan” itu, Hatim pura-pura bodoh. Ia tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Dan tidak cuma itu, Hatim pura-pura tidak bisa mendenar; ia pura-pura tuli hanya karena ingin menyelamatkan harga diri si gadis. Dengan pura-pura tuli, si gadis pun tak perlu malu di hadapannya.
Hatim, barangkali tidak seperti kita semua, berusaha untuk menyembunyikan “noda” si gadis. Hatim tak ingin mempermalukannya; membongkar aibnya. Karena inilah drajat Hatim diangat oleh Allah SWT. Hatim, si penjaga toko itulah yang dalam leteratur-literatur tasawuf dikenal dengan sebutan Hatim Al-Asham (Hatim Si Tuli). Julukan si tuli tersebut bukan cerminan dari keadaan yang sebenarnya. Hatim hannya pura-pura tuli.
Mari kita berandai-andai, bilakah kejadian yang menimpah Hatim itu terjadi juga pada kita hari ini. Apa yang akan kita lakukan? Ah kalau bukan terbahak, sekurang-kurangnya kita tersenyum. Ya, senyum yang menista. Sepertinya, generasi kita adalah generasi yang amat gandrung memeloti aib orang lain. Sekan-akan, dengan menemukan cela pada orang lain kita telah menemukan kemenangan. Kita selalu berharap menemukan kekurangan yang lain, sehingga dengan begitu kita bisa tersenyum, atau bahkan bisa tertawa terbahak.
Untuk itulah kisah Hatim  menjadi relevan. Selain bermakna sebagai ajaran untuk berbuat empatik kepada orang lain, pada titik tertentu, ia juga berarti tuntunan agar kita lebih menyibukkan diri dengan aib kita sendiri. Bayangkan bagaimana jadinya dunia ini, apabila orang-orang sibuk dengan noda-nodanya sendiri, sibuk memperbaiki diri, tanpa  perlu mencari-cari kesalahan orang lain.

Semangat perbaikan diri wahai saudara,..
Mulaiah suatu kebaikan itu dari diri kita, dari hal kecil, dan dari sekarang,.Never put it off,.
Wssalamu’alaikum wrwb,...

source : Buletin Jumat Masjid Agung Palembang

Pengikut

Facebook Twitter RSS